Harga perak melanjutkan penurunannya untuk hari kedua berturut-turut, diperdagangkan sekitar $31,40 per troy ounce selama jam Asia pada hari Kamis (30/5). Harga logam abu-abu ini sedang kesulitan karena investor bersikap hati-hati menjelang rilis data Produk Domestik Bruto Tahunan (Q1) AS pada hari Kamis dan angka Indeks Harga Belanja Konsumsi Pribadi Inti (PCE) pada hari Jumat.
Pertumbuhan ekonomi AS secara tahunan pada kuartal I diperkirakan tumbuh sebesar 1,3%, lebih rendah dibandingkan kenaikan pada kuartal sebelumnya sebesar 1,6%. Ukuran inflasi pilihan Federal Reserve, PCE Inti AS diperkirakan menunjukkan peningkatan sebesar 0,3% bulan ke bulan dan 2,8% tahun ke tahun di bulan April.
Pernyataan hawkish dari pejabat Federal Reserve (Fed) AS telah meningkatkan kekhawatiran terhadap potensi kenaikan suku bunga, sehingga memicu sentimen penghindaran risiko. Hal ini telah mendukung imbal hasil Treasury AS sekaligus berdampak negatif pada aset-aset yang tidak memberikan imbal hasil seperti Perak.
Reuters melaporkan pada hari Selasa bahwa Neel Kashkari, Presiden Federal Reserve Bank Minneapolis, mengisyaratkan kemungkinan kenaikan suku bunga. Kashkari berkomentar, "Saya tidak percaya ada orang yang sepenuhnya mengesampingkan opsi kenaikan suku bunga," mengungkapkan keraguannya terhadap tren disinflasi. Selain itu, Bloomberg melaporkan pada hari Rabu bahwa Presiden Fed Atlanta Raphael Bostic menyatakan bahwa jalur menuju inflasi 2% masih belum pasti dan kenaikan harga masih signifikan.
Di tengah ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung di Timur Tengah, aset-aset safe-haven tradisional seperti Perak mungkin mengalami peningkatan permintaan. Militer Israel mengumumkan pada hari Rabu bahwa mereka telah memperoleh "kendali operasional" atas Koridor Philadelphi, sebidang tanah sepanjang 14 kilometer (8,7 mil) di sepanjang perbatasan antara Gaza dan Mesir, seperti dilansir CNN. (Arl)
Sumber : Fxstreet